Catatan kecil untuk diri sendiri

Eli Lisnawati
2 min readFeb 14, 2022

--

Untuk aku baca lagi nanti

Pernah satu hari aku sedang merasa sangat sedih, merindukan seseorang. Berdialog dalam hati mencoba ketenangan dari Tuhan. Jari jemari menumpahkannya ke dalam tulisan di sebuah email yang penerimanya adalah aku sendiri. Iya, aku mengirim pesan untuk diri sendiri. Sengaja aku kirim pesan berjadwal dan tanggalnya asal saja. Sampai akhirnya pesan itu sampai, aku baca lagi dan berkata dalam hati, “Ternyata aku bisa melewatinya.”

Hari ini aku ingin melakukan hal yang sama. Tidak, hari ini tidak sedang sedih. Aku sedang kebingungan mengambil sebuah keputusan. Seperti sedang menyusun puzzle, apakah ini potongan puzzle yang benar. Apakah ini keputusan yang benar untuk hidup aku.

Photo by Ross Sneddon on Unsplash

“Kamu sudah melakukan yang terbaik!”

Aku berulangkali mengatakan itu dalam hati. Mencoba meyakinkan diri kalau aku tidak bisa membahagiakan semua orang. Ingat, tidak apa-apa tidak bisa membahagiakan semuanya. Seperti lilin yang membakar diri untuk menerangi sekitarnya. Aku harus sadar, jangan sampai habis terbakar.

Seringkali ingin jadi seperti amoeba yang bisa membelah diri. Yang satu fokus ke pekerjaan. Satunya lagi fokus ke urusan rumah. Kadang tangis tiba-tiba jatuh saat aku merasa semuanya tidak mudah. Hati sering menggerutu acapkali melihat sikap si ini atau si itu. Jadi tameng yang berani melindungi. Berperan ganda, harus bisa seperti tulang punggung yang mencari uang. Seperti ibu rumah tangga yang masak disela-sela bekerja. Seperti kakak tertua yang mengurusi dan diandalkan. Semua ini yang membuat aku berat untuk memutuskan. Siapa nanti yang akan berperan semua itu? Apa semuanya akan baik-baik saja kalau aku tinggal?

Pernah ada di satu titik aku merasa berhenti. Mencoba mencerna segalanya. Mempertanyakan, kenapa. Dan aku merasa jawaban, karena, itu ada di aku sendiri. Seperti Tuhan sedang mengajak berbicara serius. Memberi aku waktu untuk memperbaiki yang dulu aku abaikan.

Bukan, bukan ingin meninggalkan. Bukan juga tidak perduli. Tetapi sepertinya aku butuh waktu untuk diri sendiri. Aku yakin pasti keputusan ini akan menimbulkan kontra. “Ngapain jauh-jauh? Nanti gimana disana sendiri? Kenapa gak di Bandung aja?”

Sebuah kesempatan yang aku pun tidak berekspetasi akan seperti ini. Sebuah kehidupan yang pernah aku inginkan, sekarang ada di depan mata.

Iya, kita memang gak bisa egois. Kehidupan gak sepenuhnya milik kita. Ada orang lain juga yang harus kita pertimbangkan karena mereka punya bagian didalamnya. Dari semua kebingungan yang memenuhi pikiran, aku bertanya pada diri sendiri, “Aku maunya apa?”

Berpikir keras, mencoba mengerti apa yang dimau diri sendiri. Dalam perjalanan karir ini, apa lagi yang mau aku capai. Setelah merasa cita-cita sebagai karyawan televisi sudah digapai, aku sekarang bingung apa lagi. Dulu aku berpikir cita-cita itu seperti masa depan. Ternyata masa depan bukan hanya tentang sebuah profesi.

Yang pasti, yang aku tau, aku adalah orang yang suka menantang diri sendiri. Benar-benar keluar dari zona nyaman. Semoga saja semuanya aman.

--

--